Nasab para Sâdah Ba ‘Alawi kembali kepada datuk mereka, Alwi bin ‘Ubaidillah, cucu al-Imam al-Muhâjir, Ahmad bin Isa an-Naqîb, yakni naqîb (pemimpin) para syarif di Iraq, bin Muhammad
an-Naqîb bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shâdiq bin Muhammad
al-Bâqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin al-Imam al-Husain bin Ali bin Abu
Thalib.
Kehidupan Imam Ahmad al-Muhâjir dijalani di Bashrah. Di daerah inilah
dia tumbuh berkembang. Pada saat itu Ahlulbait berada di dalam
kehormatan dan pemeliharaan. Tetapi para khalifah Bani ’Abbas yang
menjadikan Iraq sebagai pusat mulai melemah kekuasaannya, muncullah
gerakan-gerakan dan pemberontakan-pemberontakan. Sedikit demi sedikit
fitnah melanda Iraq, dan yang paling besar di antaranya adalah hadirnya
kelompok Qaramithah yang menyerang Bashrah di awal abad ke-4 H, dan
munculnya kelompok Zinj (Sudan).
Pada situasi yang kacau itu dimana orang-orang saleh yang menjauhkan diri dari
dunia, tak mampu menghadapinya, tepatnya pada tahun 317 H, Imam Ahmad
bin Isa hijrah―yang karena itu beliau digelari al-Muhâjir―untuk
menghindari gelombang fitnah. Beliau meninggalkan Bashrah bersama tujuh
puluh orang dari keluarga dan para pengikutnya, membelah jalan menuju
Hijaz agar rombongannya dapat singgah setahun di Madinah. Setelah itu
menuju Tanah Haram Makkah pada tahun dimana pada saat itu kelompok
Qaramithah memasuki kota ini dan merampas Hajar Aswad.
Kemudian Imam Ahmad al-Muhâjir keluar dari Makkah melalui padang pasir
menuju ’Asîr kemudian ke Yaman. Takdir pun membawa mereka ke Lembah
Hadramaut, lembah terpencil dengan sedikit kekayaan, yang sebagian besar
daerahnya saat itu dikuasai oleh kaum Khawarij Ibadhiyah.
Imam al-Muhâjir pertama kali
singgah di negeri Hajrain. Setelah itu pindah ke Kindah, dan akhirnya
menetap di Husayyisah. Karena suatu hikmah yang mendalam dan
faktor-faktor penyebab yang Allah siapkan, masa kekuasaan madzhab
Ibadhiyah tidak berlangsung lama. Setelah terjadi adu argumentasi dan
peperangan antara mereka dengan al-Muhâjir dan pengikutnya serta
orang-orang yang menolong dan bergabung dengan mereka dari pengikut
Ahlussunnah di sana. Akhirny, sebagian besar lembah ini dapat
dibersihkan dari kejahatan kaum Khawarij dan para pengikut mereka.
Setelah itu Ahlussunnah mengakar di sini dan orang-orang pun menganut
madzhab mereka.
Imam Muhâjir mempunyai anak
bernama ‘Ubaidillah yang kemudian mendapatkan tiga orang anak, Bashri,
Jadid, dan ‘Alawi. Kepada ‘Alawi inilah keturunan para Sadah Ba 'Alawi
bernasab sebagaimana telah disebutkan di atas. Sedangkan keturunan kedua
saudaranya habis bersamaan berakhirnya abad keenam Hijriah.
Beberapa lama setelah al-Muhâjir wafat, keturunannya pindah ke kotaTarim
yang dinamai dengan nama raja yang membangunnya, yaitu Tarim bin
Hadramaut. Mereka menetap di sana pada tahun 521 H. Keturunan al-Muhâjir
yang pertama mendiami kota ini adalah al-Imam Ali bin Alawi yang
dikenal sebagai Khali` Qasam dan saudaranya, Sâlim, serta mereka yang
segenerasi dengan keduanya dari keturunan Bashri dan Jadid yang ada pada
saat itu.
Maka Tarim pun yang dijuluki al-Ghanna menjadi tempat tinggal keturunan
yang mulia ini. Lalu muncullah di sana ma`had-ma`had kebajikan dan
banyak pula terdapat masjid. Di samping itu kota ini menjadi mulia
karena terdapat jasad sejumlah sahabat mulia yang meninggal di sana saat
memerangi orang-orang murtad.
Sumber-sumber sejarah tidak memberikan data yang rinci tentang periode
pertama kaum ‘Alawiyyin. Informasi sejarah lebih banyak dimulai sejak
periode dua anak Imam Muhammad bin Ali, yang dikenal sebagai Shahib
Mirbath, yaitu Ali (ayah dari al-Faqîh al-Muqaddam) dan Alwi (yang
dikenal sebagai paman dari al-Faqîh al-Muqaddam), dan periode
sesudahnya. Kepada kedua orang inilah kembalinya nasab semua keluarga Ba
‘Alawi di masa sekarang ini.
Peletak pondasi sebenarnya pada bangunan thariqah ini adalah al-Imam
Muhammad bin Ali Ba ’Alawi yang digelari dengan al-Faqîh al-Muqaddam
yang lahir di Tarim pada tahun 574 H dan wafat di sana pada tahun 653 H.
Yang diterima oleh beliau —meskipun dari jauh― dari seorang ‘Arif
Billah, Syaikh Abu Madyan al-Maghribi, yang dikenal dengan gelar
al-Ghauts melalui perantara beberapa pengikut Abu Madyan yang sampai ke
Mekkah. Imam Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqîh yang dikenal sebagai
‘Allamah ad-Dunya (wafat tahun 1162 H) mengatakan, “Asal Thariqah Sadah
Ba ’Alawi adalah Thariqah Madyaniyyah, yaitu thariqah Syaikh Abu Madyan
Syu‘aib al-Maghribi. Sedangkan quthub dan inti hakikatnya adalah
asy-Syaikh al-Faqîh al-Imam Muhammad bin Ali Ba ‘Alawi al-Husaini
al-Hadhrami. Thariqah ini diterima oleh para pemimpin dari para pemimpin
yang mendahuluinya dan diwariskan kepada orang-orang besar yang
memiliki maqâmât dan ahwâl.”
Perjalanan Thariqah Sadah Ali Ba'alawi pada masa setelah Al-Faqih
Al-Muqaddam berada dipundak anak-anaknya dan masih sesuai dengan manhaj
asal. Karena thariqah ini adalah jalan kebenaran, mereka pun bersikap
khumul, hingga tidak melakukan penulisan dan pembukuan terhadap manhaj
thariqah. Keadaan ini berlangsung pada generasi awal hingga periode
Alaydrus (w: 864 H) dan saudaranya Syaikh Ali (w: 892 H). Saat inilah
thariqah berkembang luas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar